SISTEM TANAM PAKSA
Pengertian dan Sejarah Tanam Paksa (Cultuurstelsel )
a. Latar
Belakang Timbulnya Sistem Tanam Paksa
Tanam Paksa atau Cultuurstelsel
merupakan sistem yang bertujuan dan bermanfaat bagi Belanda, Tanam Paksa adalah
Peraturan Mempekerjakan seseorang dengan paksa tanpa diberi gaji dan tanpa
istirahat, sehingga sangat merugikan pekerja dan menyengsarakan. Sistem
Tanam Paksa telah menjadi sejarah bagi Rakyat indonesia.
Sejak awal abad ke-19, pemerintah Belanda mengeluarkan biaya yang sangat besar untuk membiayai peperangan, baik di Negeri Belanda sendiri (pemberontakan Belgia) maupun di Indonesia (terutama perlawanan Diponegoro) sehingga Negeri Belanda harus menanggung hutang yang sangat besar.
Sejak awal abad ke-19, pemerintah Belanda mengeluarkan biaya yang sangat besar untuk membiayai peperangan, baik di Negeri Belanda sendiri (pemberontakan Belgia) maupun di Indonesia (terutama perlawanan Diponegoro) sehingga Negeri Belanda harus menanggung hutang yang sangat besar.
Untuk menyelamatkan Negeri Belanda dari
bahaya kebrangkrutan maka Johanes van den Bosch diangkat sebagai gubernur
jenderal di Indonesia dengan tugas pokok menggali dana semaksimal mungkin untuk
mengisi kekosongan kas negara, membayar hutang, dan membiayai perang. Untuk
melaksanakan tugas yang sangat berat itu, Van den Bosch memusatkan
kebijaksanaannya pada peningkatan produksi tanaman ekspor.
Oleh karena itu, yang perlu
dilakukan ialah mengerahkan tenaga rakyat jajahan untuk melakukan penanaman
tanaman yang hasil-hasilnya dapat laku di pasaran dunia secara paksa. Setelah
tiba di Indonesia (1830) Van den Bosch menyusun program sebagai berikut.
1)
Sistem sewa tanah dengan uang harus dihapus karena pemasukannya tidak banyak
dan pelaksanaannya sulit.
2) Sistem tanam bebas harus diganti
dengan tanam wajib dengan jenis-jenis tanaman yang sudah ditentukan oleh
pemerintah.
3) Pajak atas tanah harus dibayar dengan penyerahan sebagian
dari hasil tanamannya kepada pemerintah Belanda.
b. Aturan-Aturan
Tanam Paksa
Sistem tanam paksa yang diajukan
oleh Van den Bosch pada dasarnya merupakan gabungan dari sistem tanam wajib
(VOC) dan sistem pajak tanah (Raffles) dengan ketentuan-ketentuan sebagai
berikut.
1) Penduduk desa yang punya tanah
diminta menyediakan seperlima dari tanahnya untuk ditanami tanaman yang laku di
pasaran dunia.
2) Tanah yang disediakan bebas dari
pajak.
3) Hasil tanaman itu harus
diserahkan kepada pemerintah Belanda. Apabila harganya melebihi pembayaran
pajak maka kelebihannya akan dikembalikan kepada petani.
4) Waktu untuk menanam tidak boleh
melebihi waktu untuk menanam padi.
5) Kegagalan panenan menjadi
tanggung jawab pemerintah.
6) Wajib tanam dapat diganti dengan
penyerahan tenaga untuk dipekerjakan di pengangkutan, perkebunan, atau di
pabrik-pabrik selama 66 hari.
7) Penggarapan tanaman di bawah pengawasan langsung oleh
kepala-kepala pribumi, sedangkan pihak Belanda bertindak sebagai pengawas
secara umum.
c. Pelaksanaan
Tanam Paksa
Melihat aturan-aturannya, sistem
tanam paksa tidak terlalu memberatkan, namun pelaksanaannya sangat menekan dan
memberatkan rakyat. Adanya cultuur procent menyangkut upah yang diberikan
kepada penguasa pribumi berdasarkan besar kecilnya setoran, ternyata cukup
memberatkan beban rakyat. Untuk mempertinggi upah yang diterima, para penguasa
pribumi berusaha memperbesar setoran, akibatnya timbulah
penyelewengan-penyelewengan, antara lain sebagai berikut.
1) Tanah yang disediakan melebihi
1/5, yakni 1/3 bahkan 1/2, malah ada seluruhnya, karena seluruh desa dianggap
subur untuk tanaman wajib.
2) Kegagalan panen menjadi tanggung
jawab petani.
3) Tenaga kerja yang semestinya dibayar
oleh pemerinah tidak dibayar.
4) Waktu yang dibutuhkan tenyata
melebihi waktu penanaman padi.
5) Perkerjaan di perkebunan atau di
pabrik, ternyata lebih berat daripada di sawah.
6) Kelebihan hasil yang seharusnya dikembalikan kepada
petani, ternyata tidak dikembalikan.
d. Akibat
Tanam Paksa
Pelaksanaan sistem tanam paksa
banyak menyimpang dari aturan pokoknya dan cenderung untuk mengadakan
eskploitasi agraris semaksimal mungkin. Oleh karena itu, sistem tanam paksa
menimbulkan akibat sebagai berikut.
1) Bagi Indonesia (Khususnya Jawa)
a) Sawah ladang menjadi terbengkelai
karena diwajibkan kerja rodi yang berkepanjangan sehingga penghasilan menurun
drastis.
b) Beban rakyat semakin berat karena
harus menyerahkan sebagian tanah dan hasil panennya, membayar pajak, mengikuti
kerja rodi, dan menanggung risiko apabila gagal panen.
c) Akibat bermacam-macam beban
menimbulkan tekanan fisik dan mental yang berkepanjangan.
d) Timbulnya bahaya kemiskinan yang
makin berat.
e) Timbulnya bahaya kelaparan dan
wabah penyakit di mana-mana sehingga angka kematian meningkat drastis.
Bahaya kelaparan menimbulkan korban
jiwa yang sangat mengerikan di daerah Cirebon (1843), Demak (1849), dan
Grobogan (1850). Kejadian ini mengakibatkan jumlah penduduk menurun drastis. Di
samping itu, juga terjadi penyakit busung lapar (hongorudim) di mana-mana.
2) Bagi Belanda.
Apabila sistem tanam paksa telah
menimbulkan malapetaka bagi bangsa Indonesia, sebaliknya bagi bangsa Belanda
ialah sebagai berikut:
a) Keuntungan dan kemakmuran rakyat
Belanda.
b) Hutang-hutang Belanda terlunasi.
c) Penerimaan pendapatan melebihi
anggaran belanja.
d) Kas Negeri Belanda yang semula
kosong dapat terpenuhi.
e) Amsterdam berhasil dibangun
menjadi kota pusat perdagangan dunia.
f) Perdagangan berkembang pesat.
e. Akhir
Tanam Paksa
Sistem tanam paksa yang
mengakibatkan kemelaratan bagi bangsa Indonesia, khususnya Jawa, akhirnya
menimbulkan reaksi dari berbagai pihak, seperti berikut ini.
1) Golongan Pengusaha
Golongan ini menghendaki kebebasan
berusaha. Mereka menganggap bahwa tanam paksa tidak sesuai dengan ekonomi
liberal.
2) Baron Van Hoevel
Ia adalah seorang missionaris yang
pernah tinggal di Indonesia (1847). Dalam perjalanannya di Jawa, Madura dan
Bali, ia melihat penderitaan rakyat Indonesia akibat tanam paksa. Ia sering
melancarkan kecaman terhadap pelaksanaan tanam paksa. Setelah pulang ke Negeri
Belanda dan terpilih sebagai anggota parlemen, ia semakin gigih berjuang dan
menuntut agar tanam paksa dihapuskan.
3) Eduard Douwes Dekker
Ia adalah seorang pejabat Belanda
yang pernah menjadi Asisten Residen Lebak (Banten). Ia cinta kepada penduduk
pribumi, khususnya yang menderita akibat tanam paksa. Dengan nama samaran
Multatuli yang berarti "aku telah banyak menderita", ditulisnya buku
Max Havelaar atau Lelang Kopi Persekutuan Dagang Belanda (1859) yang menggambarkan
penderitaan rakyat akibat tanam paksa dalam kisah Saijah dan Adinda.
Akibat adanya reaksi tersebut, pemerintah Belanda secara
berangsur-angsur menghapuskan sistem tanam paksa. Nila, teh, kayu manis
dihapuskan pada tahun 1865, tembakau tahun 1866, kemudian menyusul tebu tahun
1884. Tanaman terakhir yang dihapus adalah kopi pada tahun 1917 karena paling
banyak memberikan keuntungan.
f. Sistem Usaha Swasta
Sesudah tahun 1850, kaum liberal
memperoleh kemengangan politik di Negeri Belanda. Mereka juga ingin menerapkan
asas-asas liberalisme di tanah jajahan. Dalam hal ini kaum liberal berpendapat
bahwa pemerintah semestinya tidak ikut campur tangan dalam masalah ekonomi;
tugas ekonomi haruslah diserahkan kepada orang-orang swasta; agar kaum swasta
dapat menjalankan tugasnya maka harus diberi kebebasan berusaha.
Sesuai dengan tuntutan kaum liberal
maka pemerintah kolonial segera memberikan peluang kepada usaha dan modal
swasta untuk menanamkan modal mereka dalam berbagai usaha di Indonesia,
terutama perkebunan-perkebunan di Jawa dan di luar Jawa. Selama periode tahun
1870–1900 Indonesia terbuka bagi modal swasta Barat. Itu sebabnya zaman itu
sering disebut zaman Liberal. Selama masa Liberal, kaum swasta Barat aktif
membuka perkebunan-perkebunan seperti, kopi, teh, gula, dan kina yang cukup
besar di Jawa dan Sumatra Timur.
Pembukaan perkebunan besar itu dapat
dilakukan dengan adanya Undang-Undang Agraria 1870. Adapun tujuannya ialah
sebagai berikut.
1) Untuk melindungi hak milik
petani-petani pribumi atas tanahnya, dari penguasaan orang-orang asing.
2) Peluang kepada para pengusaha
asing untuk dapat menyewa tanah dari rakyat Indonsia.
Dengan demikian, para pengusaha
hanya dapat diperbolehkan menyewa tanah-tanah petani dalam jangka waktu
tertentu dan tidak boleh membelinya.
Dalam Undang-Undang Agraria juga
telah disebutkan bahwa tanah yang boleh disewa digolongkan menjadi dua macam.
1) Tanah milik negara, yaitu
tanah-tanah yang tidak secara langsung menjadi milik penduduk pribumi ( di luar
wilayah desa). Tanah ini dapat disewa selama 75 tahun.
2) Tanah milik penduduk pribumi,
misalnya sawah, ladang, dan yang sejenis yang dimiliki langsung oleh penduduk
desa. Tanah ini dapat disewa dalam jangka waktu 5 tahun atau sampai dengan 30
tahun.
Harapan kaum liberal untuk membuka
tanah jajahan bagi perkembangan ekonomi Hindia Belanda ternyata dapat tercapai.
Perkebunan gula, kopi, tembakau, dan tanaman-tanaman perdagangan lainnya
diusahakan secara luas dan meningkat secara cepat. Untuk memperlancar
perkembangan produksi tanaman ekspor maka pemerintah membangun waduk-waduk dan
saluran-saluran irigasi.
Selain irigasi juga dibangun jalan-jalan raya, jembatan-jembatan, dan jalan kereta api. Pembangunan jalan dimaksudkan untuk menunjang kelancaran pengangkutan hasil-hasil perusahaan perkebunan dari daerah pedalaman ke daerah pantai atau pelabuhan yang kemudian diteruskan ke luar.
Selain irigasi juga dibangun jalan-jalan raya, jembatan-jembatan, dan jalan kereta api. Pembangunan jalan dimaksudkan untuk menunjang kelancaran pengangkutan hasil-hasil perusahaan perkebunan dari daerah pedalaman ke daerah pantai atau pelabuhan yang kemudian diteruskan ke luar.
Selama zaman Liberal (1870–1900),
usaha-usaha perkebunan swasta Barat mengalami kemajuan pesat dan mendatangkan
keuntungan yang besar bagi pengusaha. Kekayaan alam Indonesia mengalir ke
Negeri Belanda. Akan tetapi, bagi penduduk pribumi, khususnya di Jawa telah
membawa kemerosotan kehidupan dan kemunduran tingkat kesejahteraan. Hal ini
sangat terasa sejak adanya krisis perkebunan tahun 1885 yang mengakibatkan uang
sewa tanah dan upah pekerja di pabrik serta perkebunan menurun.
Pada akhir abad ke-19, muncullah
kritik-kritik tajam yang ditujukan kepada pemerintah Hindia Belanda akibat
praktik liberalisme yang gagal memperbaiki nasib kehidupan rakyat Indonesia.
Para pengkritik menganjurkan untuk memperbaiki nasib rakyat Indonesia.
Kebijaksanaan ini didasarkan atas anjuran Mr. C. Th. Van Deventer yang menuliskan buah pikirannya dalam majalah De Gids (perinstis/pelopor) dengan judul Een Ereschuld (Berhutang Budi) sehingga dikenal dengan nama politik etis atau politik balas budi. Gagasan Van Deventer terkenal dengan nama Trilogi Van Deventer yang isinya sebagai berikut.
Kebijaksanaan ini didasarkan atas anjuran Mr. C. Th. Van Deventer yang menuliskan buah pikirannya dalam majalah De Gids (perinstis/pelopor) dengan judul Een Ereschuld (Berhutang Budi) sehingga dikenal dengan nama politik etis atau politik balas budi. Gagasan Van Deventer terkenal dengan nama Trilogi Van Deventer yang isinya sebagai berikut.
1) irigasi atau pengairan
(memperbaiki pengairan);
2) emigrasi atau pemindahan penduduk
atau transmigrasi;
3) edukasi atau pendidikan
(memajukan pendidikan).
Demikianlah Materi Pengertian
dan Sejarah Tanam Paksa (Cultuurstelsel ), semoga bermanfaat.
Referensi : http://www.materisma.com/2014/01/sejarah-pelaksanaan-sistem-tanam-paksa.html
Komentar
Posting Komentar